Situ Sangiang (Makam Sunan Parung)
Situ Sangiang terletak 800 m atau sebelum kota Talaga dari arah
selatan. Kawasan tersebut terletak pada ketinggian tanah antara 600-800
m.
Ketinggian tanah terendah berada didesa Banjaran dan tertinggi di
desa Sangiang. Bentuk permukaan tanah umumnya beragam, namun secara umum
adalah relatif datar dengan kemiringan lahan sampai dengan 10%.
Lahan-lahan demikian umumnya dipergunakan untuk areal pesawahaan dan
perairan.
Dari aspek iklim, kawasan Situ Sangiang termasuk type iklim C2
dengan intensitas curah hujan rata-rata antara tahun 1990-1997 sebesar
1.802 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada tahun 1990 sebesar 3.050
mm/tahun dan terendah terjadi pada tahun 1991 dengan curah hujan sebesar
716 mm/tahun.
Kawasan WW Situ Sangiang dengan pemandangan hutan campuran
diantaranya mahoni dan kayu manis ditemukan juga jenis-jenis lain
diantaranya alang-alang, rumput teki, gewar, rotan, saliara, kirinyuh,
pohpohan, tepus, kiara, manglid, suren, benda, kemiri, pasang dan
lain-lain. Sedangkna jenis fauna diantaranya ular sanca, ular sawah,
burung kutilang, bincarung, cangkakak, kera, lutung, bai.
Kegiatan Wisata yang dapat dilakukan diantaranya lintas alam, bersampan, memancing dan berkemah.
Di Wana Wisata Situ Sangiang terdapat makam yang dikeramatkan. Juru
kunci setempat menyebutkan, makam yang ada dipinggir Situ Sangiang ini
merupakan salah satu makam tokoh penyebar Islam didaerah Majalengka dan
sekitarnya.
Wajar saja bila berwisata di Situ Sangiang lebih bersifat religius.
Ada yang jauh-jauh datang kesitu, hanya ingin berziarah kemakam wali
dan kemudian mandi dipinggir situ. Jadi benar-benar wisata itu sangat
sakral. Menurut penduduk setempat dan juru kunci situ itu merupakan
penjelmaan dari sebuah kerajaan kuno yang disebut kerajaan Telaga.
Pada kira-kira zaman abad sebelum ke 15, kewadanaan Talaga adalah
bekas salah satu kerajaan, yang bertahta bernama SUNAN TALAGA MANGGUNG,
asal keturunan Raja PRABU SILIWANGI, kerajaan di SANGIANG. Beliau
mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan, yang
laki-laki bernama RADEN PANGLURAH dan yang perempuan bernama RATU SIMBAR
KENCANA. Raden Panglurah tidak ada dikeraton sedang melakukan tetapa di
GUNUNG BITUNG sebelah selatan Talaga.
Ratu SIMBAR KENCANA mempunyai suami kepala seorang patih di keraton
tersebut, yang bernama PALEMBANG GUNUNG, berasal dari Palembang. Patih
palembang gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu sunan
Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang
murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan
membunuh mertuanya ialah Sunan Talaga Manggung. Setelah mendapat
keterangan dari seorang mantra yang bernama CITRA SINGA, bahwa sang raja
sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu
mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata tumbak kawannya
raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa
yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja
yang bernama Centang Barang, Setelah mendapatkan tombak tersebut,
kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan
muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan
melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar / akan dinaikan
pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang
muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.
Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi SUNAN TALAGA MANGGUNG baru
bangun dari tidurnya dan menuju jamban, beliau diintai oleh Centang
Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah
kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah
melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu
bersabda, “biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka
mendapat balasan dari Dewa karena ia durhaka”. Setelah si Centang
Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit anggota
badannya sampai ia mati.
Palembanga Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia
berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada (hilang) dengan seisinya
hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan SITU SANGIANG TALAGA.
Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi
Raja di Talaga.
Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada diantaranya yang
memberitahukan kepada RATU SIMBAR KENCANA atau istrinya Palembang
Gunung, bahwa kematian ayah handanya adalah perbuatan suaminya sendiri.
Setelah mendapat kanbar itu maka SIMBAR KENCANA membulatkan hati untuk
membalas dendam kepada suaminya, atas kematian ayah handanya. Pada saat
Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya (digorok) oleh tusuk
konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.
Setelah gunung palembang itu mati, kerajaan belum ada yang
menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari
petapaan (putra sulung dari sunan Talalga Manggung) sedatangnya ke
sangiang beliau merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya
nampak situ saja dan setelah beliau mendapat kabar dari orang yang
bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang
Suji (desa Kagok).
Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa,
datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan
kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayah
handanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan
pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri, dan beliau (Raden
Panglurah) akan menyusul ayah handanya dengan meminta empat dinas
pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, beliau menuju Situ
Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut beliau beserta
pengiringnya turun ke situ sangiang dan turut menghilang.
Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana
menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh
dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana
meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya SUNAN
PARUNG.
Sunan Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan
kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantra Putranya Raden
Munding Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Padjajaran.
Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti
menjadi Islam dari agama Budha, yang dikembangkan oleh SUNAN GUNUNG
DJATI CIREBON (SYARIF HIDAYAT TULLOH). Raden Rangga Mantri setelah
menjadi Islam namanya diganti PRABU PUCUK ULUM. Prabu Pucuk Ulum
mempunyai putra bernama SUNAN WANAK PRIH. Sunan Wanak Prih menjadi raja
yang bertempat diwaloang suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Prih mempunyai
putra AMPUH SURAWIJAYA SUNAN KIDAK. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal
dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada AMPUH SURAWIJAYA, dan kerajaan
dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.
Ampuh Sura Wijaya mempunyai putra bernama SUNAN PANGERAN
SURAWIJAYA, Sunan Ciburuy, diturunkan kepada Putranya DIPATI SUARGA.
Dari putra Dipati Suarga diturunkn kepada putranya DIPATI WIRANATA.
Kemudian kerajaan itu diturnkan kepada putranya bernama RADEN SACA
EYANG hingga abad ke tujuh belas.
Kerajaan dipindahkan (dihilangkan) karena penjajahan, dan pada
waktu itu kerajaan di Talaga menjadi KABUPATEN. Raden Saca Nata Eyang
meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada putranya bernama ARIA
SECANATA. Setelah itu
Kabupaten dipindahkan ke Majalengka bertempat di Sindangkasih.
Waktu Kabupaten dipindahkan Bupati Raden Sacanata menolak sampai
beliau pada waktu itu dipensiun. Beliau mempunyai putra bernama PANGERAN
SUMANEGARA. Pangeran sumanegara mempunyai putri bernama NYI RADEN
ANGREK. Nyi Raden Angrek mempunyai suami bernama KERTADILAGA putra
pangeran Kartanegara kamboja. Dari Kartadiliga mempunyai putra bernama
NATAKUSUMAH di CIKIFAI TALAGA, sampai sekarang keturunanya masih ada,
menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga.
Barang-Barang kuno tersebut adalah BAJU KERA, ARCA-ARCA, GAMELAN, TUAH
MERIAM, BEDIL SUNDUT, dan perkkas lainya yang sekarang masih ada.
Adapun bekas keratonnya sudah diubah-ubah menjadi rumah tembok,
hanya pintu-pintu dan dinding-dindingnya saja yang ada terbuat dari
ukiran kuno, dimiliki oleh keturunanya.
Perlu diterangkan bahwa sebelum perang, tidak sedikit yang
berziarah ke Situ Sangiang dan kemakam, juga tersebar rotannya (dari
talaga).
Dari luar kabupaten, masih banyak orang-orang yang berjiarah sampai
sekarang. Di Situ Sangiang ada pekuncenan sebanyak tujuh orang.
Demikian cerita singkat ini dikumpulkan dari orang-orang tua dan
keturunanya.
Dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dengan jarak tempuh dari Majalengka 30km. Kondisi jalan beraspal.
0 Komentar — Skip to Comment
Posting Komentar — or Back to Content