Antara Rok Mini dan Korupsi
Di tengah runtuhnya citra DPR, lembaga negara itu sekarang sedang berbenah diri. Namun berbenah diri yang dilakukan terasa lucu dan aneh. Anehnya adalah menyalahkan pihak lain. Menyalahkan pihak lain ini seperti hendak membatasi larangan wartawan yang meliput, karena wartawan dirasa suka membuka aib kinerja DPR.
Kemudian pihak DPR juga hendak menutup kafe-kafe yang ada di wilayah kompleks parlemen itu. Dalih penutupan kafe adalah karena kafe-kafe itu diduga sering dijadikan tempat kumpulnya para calo anggaran. Sedang langkah kebijakan lucu DPR yang baru saja dikeluarkan adalah melarang penggunaan rok mini, seksi, dan ketat, di lingkungan DPR.
Melarang penggunaan rok mini di lingkungan DPR merupakan langkah yang bagus dan perlu didukung. Sebab selama ini, di tengah lalu lintas kesibukan anggota DPR yang wira-wiri sibuk sidang di komisi-komisi dan badan-badan yang ada, tiba-tiba kesibukan itu akan terhenti atau beralih ketika ada seorang perempuan yang memakai rok mini, cantik, dan seksi lagi, melintas di depan mereka.
Tentu saja gerakan perempuan yang memakai rok mini itu menganggu perhatian dan konsentrasi anggota DPR yang sedang merumuskan kebijakan. Bila lenggak-lenggok perempuan pemakai rok mini itu masuk dalam pikiran anggota DPR, nah itulah yang bisa membuat hasil keputusan bisa runyam, kalau dalam bentuk undang-undang mungkin undang-undang itu bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, ha... ha... ha...
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso berdalih langkah itu dilakukan untuk menjaga kepatutan dalam segi berbusana. Langkah itu dibuat juga untuk mengubah 'pemandangan' yang biasa terjadi di DPR selama ini yakni banyak sekretaris pribadi atau tenaga ahli yang menggunakan rok mini, baju ketat, dan seksi. Priyo mempersilakan mereka menggunakan rok mini namun jangan di DPR, kalau di kantor swasta dan mal silakan.
Bila peraturan itu berjalan, pihak DPR bisa jadi akan mengerahkan pamdal-pamdal untuk melakukan sweeping kepada perempuan-perempuan yang menggunakan rok mini, seksi, dan ketat, di lingkungan DPR terutama Gedung Nusantara I. Dan bisa jadi sweeping itu akan salah sasaran atau salah tangkap. Menurut Priyo, aturan itu meminta seluruh pegawai di bawah Sekretariat Jenderal DPR untuk menjaga kepatutan dalam segi berbusana.
Nah, yang memakai rok mini di lingkungan itu terkadang bukan sekretaris pribadi, tenaga ahli anggota, atau pegawai di lingkungan Sekretaris Jenderal DPR. Namun bisa juga tamu anggota DPR, marketing kartu kredit, atau perempuan-perempuan lain yang sengaja datang ke Gedung DPR. Di sinilah bisa terjadinya salah tangkap saat sweeping.
Banyaknya perempuan rok mini di lingkungan DPR salah satu faktornya adalah karena mereka juga 'diundang' untuk menjadi sekretaris pribadi atau tenaga ahli. Tentu mereka dengan digaji jumlah yang lumayan, akan membelanjakan sekian persen gajinya itu untuk mengikuti mode. Nah kebetulan mode yang berkembang saat ini adalah mode yang mini-mini, ketat-ketat, dan seksi-seksi. Lingkungan mode yang juga menjerumuskan mereka.
Larangan itu rata-rata ditolak oleh anggota DPR dari kalangan artis. Nurul Arifin, artis film di tahun 1980 dan 1990-an yang sekarang menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, mengatakan DPR tidak perlu mengurusi rok mini, mengurus saja yang lebih substantif.
Dengan adanya kuota 30 persen anggota legislatif dari kaum perempuan, dan partai politik mengundang artis-artis perempuan untuk menjadi calon legislatif. Bila mereka terpilih maka protes penggunaan rok mini, seksi, dan ketat, pada DPR Periode 2014 akan lebih ramai lagi. Para sekretaris pribadi dan tenaga ahli berpakaian ketat karena juga pengaruh langsung dari 'gurunya' yakni anggota DPR dari kalangan artis. Pakaian seksi dan ketat yang mungkin sudah menjadi gaya hidup para artis dan saat menjadi anggota DPR tentu mereka akan 'menularkan' ilmunya itu kepada sekretaris pribadi dan tenaga ahlinya.
Anggota DPR perempuan berhak menggunakan pakaian seksi, ketat, dan rok mini, sebab aturan yang ada hanya diperuntukkan bagi sekretaris pribadi, tenaga ahli, dan pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal. Jadi di sini partai politik sendirilah yang menciptakan adanya suasana rok mini, seksi, dan ketat.
Terlepas dari protes dari sebagaian kalangan, langkah yang ditempuh oleh DPR dengan melarang perempuan menggunakan rok mini itu tidak akan menyelesaikan masalah di DPR, yakni maraknya korupsi, malas datang sidang, dan tidak produktifnya fungsi legeslasi. Belum ada ukuran bahwa banyaknya perempuan yang menggunakan rok mini lalu menyebabkan tingginya korupsi, tingginya ketidakhadiran dalam sidang, dan rendahnya produktifitas legeslasi.
Tingginya korupsi di DPR disebabkan karena anggota DPR ingin memperkaya diri, bukan karena ada perempuan yang memakai rok mini. Demikian juga mereka malas hadir dalam sidang karena mereka tidak paham materi sidang, bukan karena rok mini. Pun demikian, produktifitas legeslasi rendah juga bukan karena rok mini namun ketidakmampuan mereka menangkap aspirasi masyarakat dan tak paham legal drafting.
Untuk memperbaiki citra, DPR seharusnya lebih memperhatikan perilaku anggotanya daripada mengurusi perilaku pihak yang lain. Maraknya korupsi, banyaknya anggota yang bolos sidang, dan rendahnya fungsi legislasi, sebagai bukti tidak adanya pengawasan internal di kalangan mereka sendiri. Akibatnya citra mereka buruk dan ingin diangkat dengan membuat aturan yang remeh temeh.
Seharusnya DPR dengan tegas dan berulangkali mengeluarkan warning dan aturan, seperti melarang penyalahgunaan anggaran, wajib hadir dalam sidang, dan memenuhi target pembuatan undang-undang. Namun karena partai politik dan anggota DPR menikmati hal-hal tersebut, maka aturan ke dalam dirinya sendiri tidak dipertegas, namun justru aturan yang tidak ada kaitannya dalam meningkat fungsi kinerja DPR yang malah digalakkan.
*) Ardi Winangun adalah Ketua Forum Alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa. Penulis tinggal di Matraman, Jakarta. Nomor kontak: 08159052503. Email: ardi_winangun@yahoo.com
1 Komentar — Skip to Comment
sama2 menantang dan merangsang.
Posting Komentar — or Back to Content