Kontroversi Pembelian 6 Sukhoi dari Rusia
Pimpinan sejumlah LSM yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan itu terdiri dari ICW, Kontras, Imparsial, Elsam, dan HRWG . Datang ke KPK, mereka diterima langsung oleh tiga pimpinan KPK Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, dan Adnan Pandu Pradja.
"Dari penentuan harga Sukhoi yang kami hitung, total yang harus dijelaskan oleh Menteri Pertahanan adalah dana sekitar Rp1,2 triliun itu kemana," kata Wakil Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo kepada para wartawan di gedung KPK.
Koalisi ini menilai ada kejanggalan dalam pembelian 6 pesawat Sukhoi dari negeri Rusia itu. Mereka menduga terdapat indikasi permainan dalam proses pengadaan, khususnya terkait dengan kemahalan dan ketidakwajaran harga pesawat.
Adnan menjelaskan bahwa pengadaan pesawat Sukhoi itu adalah bagian dari upaya memodernisasi alutsista untuk periode 2010-2014 yang diperkirakan menelan anggaran hingga Rp149,78 triliun. Perinciannya adalah untuk pengadaan alutsista sebesar Rp87,32 triliun, perawatan dan pemeliharaan alutsista sebesar Rp62,46 triliun, dimana untuk tahun 2010 dialokasikan Rp23,10 triliun, tahun 2011 sebesar Rp32,29 triliun, tahun 2012 sebesar Rp29,66 triliun, tahun 2013 sebesar Rp32,58 triliun dan tahun 2014 sebesar Rp32,15 triliun.
Sesuai dengan surat Menteri Pertahanan Nomor R/96/M/III/2011 tentang pengajuan tambahan alokasi pinjaman luar negeri untuk Kemhan yang ditujukan kepada Menteri PPN/Ka Bappenas tertanggal 21 Maret 2011, dikatakan bahwa tambahan pinjaman luar negeri atau kredit komersial termasuk untuk pengadaan 6 unit Sukhoi Su 30 MK-2 beserta dukungannya sebesar US$470 juta.
Hingga saat ini, pemerintah Indonesia dan Rusia cq Rosoboronexport selaku produsen Sukhoi masih menyelesaikan beberapa bagian dari kontrak kerjasama pembelian 6 unit Sukhoi tersebut.
"Mengapa Pemerintah Indonesia cq Kemhan lebih memilih untuk menggunakan skema pembelian Sukhoi dengan sumber dana pinjaman luar negeri atau kredit komersial, tidak menggunakan fasilitas state loan yang telah disediakan oleh Pemerintah Federasi Rusia sebesar US$1 miliar," ujar Adnan.
Adnan menjelaskan, untuk membeli Sukhoi ini, pada 6 Spetember 2007, telah disepakati perpanjangan kredit negara (state credit) antara Indonesia dan Rusia. Sebelumnya, yakni pada 22 September 2005, Indonesia dan Rusia juga telah menyetujui adanya kerjasama bantuan teknis militer serta MoU asistensi implementasi bantuan teknis militer yang ditandatangani pada 1 Desember 2006 untuk masa 2006-2010.
Pada prinsipnya, dalam perjanjian tersebut, Pemerintah Rusia menyediakan fasilitas kredit untuk pembelian alutsista bagi pemerintah Indonesia senilai US$1 miliar.
Dalam salah satu klausul perjanjian, yakni pada artikel 14 disepakati bahwa pemerintah Indonesia akan membeli beberapa peralatan militer dari sumber kredit Pemerintah Rusia, yakni Helikopter Mi-17v-5, Helikopter Mi-35P dan pendukungnya, Diesel listrik untuk kapal selam, Kendaraan BMP-3F, dan Sukhoi Su 27 serta Su-30MK2 termasuk Avionic.
"Dari perjanjian itu, jelas bahwa seharusnya pengadaan Sukhoi bersumber dari kredit pemerintah Rusia," ujarnya.
Hal itu, lanjut Adnan, diperkuat dengan surat B/1390-03/05/01/Srenaau, tanggal 8 Desember 2010 tentang revisi rencana pengadaan alutsista TNI AU TA 2010-2014 dari Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf AU kepada Panglima TNI yang menyebutkan bahwa untuk pengadaan 6 unit Sukhoi dan pengadaan 2 unit pesawat jet Tanker yang semula anggarannya didukung dari sumber PHLN/KE, dialihkan menggunakan State Credit dari Pemerintah Rusia.
"Peralihan sumber pendanaan pembelian Sukhoi sebagaimana dalam surat tersebut merupakan bagian dari upaya efisiensi penggunaan PHLN/KE yang semula sebesar US$5,588 juta menjadi US$1,920 juta," jelasnya.
Akan tetapi, menurut Adnan, dalam perkembangannya, Kemhan justru mengajukan sumber pendanaan pembelian 6 unit Sukhoi bersumber dari PHLN/KE sebagaimana dibuktikan dengan surat nomor R/96/M/III/2011 yang ditujukan kepada Ka Bappenas.
Dalam lampiran surat tersebut, tambahan PHLN/KE untuk pengadaan alutsista TNI Tahun Anggaran 2011-2014 adalah sebesar US$695 juta dimana US$470 juta diantaranya untuk pengadaan Sukhoi Su 30 MK-2 beserta dukungannya.
Sementara itu, untuk kebutuhan pengadaan alutsista untuk periode tahun yang sama dari sumber kredit pemerintah Rusia yang totalnya sebesar US$1 miliar hanya diajukan sebesar US$362,4 juta. Anehnya, dari sumber kredit Pemerintah Rusia, Kemhan mengajukan pembelian Simulator Sukhoi dan Sucad Avionic Su-27SK dan Su-30MK.
Atas dasar itu, Adnan menduga ada indikasi kemahalan dalam pembelian Sukhoi ini. Karena dengan menggunakan mekanisme pembelian seperti itu, keterlibatan pihak ketiga tidak dapat dihindari.
Mekanisme penggunaan kredit ekspor juga menjadi persoalan. Adnan menilai, dalam penggunaan kredit ekspor, negara cenderung rugi. Pertama, bunganya itu bunga pasar, sekitar 8 persen per tahun. Sementara kalau pakai kredit dari Rusia itu 5,3 persen per tahun. Kedua, masa pengembalian. Masa pengembalian kredit ekspor itu hanya 2 sampai 5 tahun. Padahal kalau pakai kredit negara itu bisa sampai 15 tahun.
"Nah itu hal-hal yang jadi catatan kami, mengapa tidak mau menggunakan pinjaman negara. Sehingga dapat bunga lebih murah, jangka waktu pengembalian yang lebih panjang mekanisme pembayaran pun menggunakan G to G tidak harus melibatkan agen. Keterlibatan agen membuat harga makin mudah dipermainkan. Saya kira ini adalah salah satu poin yang kami sampaikan ke KPK," terang Adnan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Imparsial Poengki Indarti, menambahkan pihak yang dilaporkan dalam hal ini adalah Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro selaku lembaga yang bertanggungjawab atas pengadaan Alutsista RI.
"Karena inikan G to G, nggak boleh ada rekanan. Pemerintah Rusia punya perusahaan sendiri, mereka punya kantor di sini. Namun operasionalnya dilakukan oleh pihak lain. Kecurigaan lain adalah kredit ekspor. Ini banyak ruginya, buat rekanan akan ada fee sekitar 15 persen," papar Poengki.
Pimpinan KPK berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut. "Tentu laporannya akan ditindaklanjuti, prosesnya akan kami telaah dan kami validasi lagi dokumen-dokumen yang disampaikan," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 20 Maret 2012.
Dugaan korupsi pembelian Sukhoi ini juga telah dilaporkan ke Komisi Pertahanan DPR pada 15 Maret 2012. Atas laporan itu, Komisi Pertahanan DPR pun berencana memanggil Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro, untuk menjelaskan mengenai pembelian pesawat Sukhoi.
"Akan kami konfirmasikan apakah benar pemilihan dari pinjaman negara menjadi fasilitas kredit ekspor justru akan merugikan," kata Wakil Pimpinan Komisi Bidang Pertahanan, Tubagus Hasanudin, di DPR, Jakarta, Kamis 15 Maret 2012.
Selain itu, hal yang akan ditanyakan lagi adalah mengenai perusahaan rekanan lain selain Rosoboron7. Juga menyangkut aspek-aspek yang paling kecil itu item-item apa saja di dalam pembelian dari Sukhoi sebesar US$470 juta itu.
Selain memanggil Menteri Pertahanan, kata Tubagus, DPR juga berencana akan memanggil ICW untuk meminta pandangan lembaga itu, apakah pembelian pesawat ini lebih transparan. "Semua akan kami clear-kan, jadi tidak perlu ditutup-tutupi. Kalau memang itu benar dan harganya juga pas, cocok dan memang kami butuh untuk beli Sukhoi dan perlengkapannya kenapa tidak," katanya.
Tapi jika tidak benar, harus diluruskan. Sebab rencana itu punya potensi kerugian negara, jika memang terjadi pembengkakan. "Saya tidak mau suudzon, tapi nanti kami luruskan semuanya," jelas Tubagus.
Pada dasarnya, kata Tubagus, Komisi I menyetujui pembelian pesawat Sukhoi. Hal itu, karena sudah menjadi program rencana strategi.
Tak Ada Mark Up
Menteri Purnomo Yusgiantoro berkali-kali menegaskan bahwa tidak ada unsur korupsi dalam pembelian alutsista, termasuk sejumlah pesawat Sukhoi itu. "Baiknya sebelum diklarifikasi secara jelas, jangan komentar dulu. Orang cuma tahu sedikit kasih komentar macam-macam. Orang tidak mengerti tapi menganggap kami korupsi. Kalau saya balik menuding mereka anteknya asing, mau nggak?" kata Purnomo Gedung DPR, Senin 19 Maret 2012.
Soal pembelian pesawat yang dinilai terlalu mahal itu, kata Purnomo, merupakan hal yang wajar. "Kami sebagai menteri kan hanya tahu kulitnya aja. Persenjataan modern mahal," katanya.
Purnomo juga mempersilakan KPK menyelidiki dan memproses laporan sejumlah lembaga itu. "Oh silakan, nggak ada masalah. Silakan diselidiki. Proses kami lewat berjenjang, no problem. Tapi tolong informasinya yang akurat," ujarnya. Kementerian pertahanan sedang membangun skuardon Sukhoi yang jumlahnya 16. Sudah ada 10 pesawat. Jadi kurang enam."
Pembelian pertama, kata Purnomo, dilakukan pada 2007. "Tentu harganya berbeda. Tapi perbedaannya tidak banyak, karena perbedaan hanya untuk meng-cover inflasi. Tidak ada perbedaan yang besar dan signifikan atau mark-up," kata dia.
Purnomo memperingatkan, semua pihak untuk berhati-hati melihat nilai kontrak. Nilai kontrak yang ada, katanya, selain beli pesawat Sukhoi juga peralatan lain. Membeli egine yang jumlahnya 12. Jadi tidak bisa dibandingkan apple to apple dengan Vietnam.
Pembelian pesawat Sukhoi itu, lanjutnya, juga tidak lepas dari pengawasan. Ada dua organ yang mengawasi pembelian ini. Pertama HLV (High Level Commite) yang ditunjuk presiden. Kedua, Tim Konsultasi Pencegahan Penyimpangan pembelian produk-produk barang dan jasa pemerintah.
Purnomo menjelaskan bahwa satu paket pembelian senilai US$470 juta itu digunakan untuk pembelian 6 Sukhoi, suku cadang satu paket, engine 12 unit, training 10 penerbang dan 35 teknisi.
Bagaimana dengan dugaan keterlibatan pihak ketiga, PT TR?
"Kontrak Sukhoi itu goverment to goverment. Rusia menunjuk Rosoboroneksport untuk melakukan kontrak kerjasama dengan kami. Kami tidak melihat ada agen atau perantara," kata Purnomo.
Kalaupun itu ada, bukan kami yang menunjuk tapi urusan mereka. Purnomo menegaskan bahwa dia sama sekali tidak kenal dengan perusahaan PT TR itu dan tidak tahu kaitan perusahaan itu dengan transaksi ini, sebab namanya tidak ada dalam kontrak. Sementara soal kredit ekspor yang dipertanyakan sejumlah LSM itu, kata Purnomo, bukan dalam rangka pengadaan Sukhoi, tapi untuk kapal selam.
Purnomo pun membantah ada campur tangan calo dalam pengadaan Sukhoi ini. "Broker yang mana? Kalau kami di Kementerian Pertahanan nggak ada, karena kami langsung ke Rosoboronexport," kata Purnomo.
Dia menjelaskan, saat melakukan pembelian, Pemerintah Rusia langsung menunjuk JSC Rosoboronexport sebagai wakil resmi pemerintah Rusia dalam pengadaan pesawat Sukhoi. "Kami deal-nya sama Rosoboroneksport," tambah dia.
Purnomo mengaku bingung, mengapa isu-isu tak sedap soal pengadaan Sukhoi baru muncul belakangan ini. Padahal proses pengadaannya sudah dua bulan lalu. "Dapat informasinya dari mana, suruh ketemu sama kami saja," katanya.
Lalu bagaimana dengan dugaan adanya mark-up? Purnomo menjelaskan bahwa harga sebuah pesawat Sukhoi adalah US$54,5 juta. "Kami sudah punya 10, jadi beli 6 lagi untuk lengkap 1 skuardon. Tahun ini rencananya datang 2, pada 2013 datang lagi 3 Sukhoi, tahun 2014 1 Sukhoi," tambah dia.
Mengenai adanya selisih harga, Purnomo mengklaim bahwa selisih itu disebabkan faktor inflasi. "Contohnya kalau kita beli makanan dua tahun yang lalu dan sekarang beda, dan itu tidak banyak, kecil sekali," kata dia.
Meski demikian, Purnomo tidak bisa membeberkan secara rinci berapa selisih harga tersebut. "Angkanya saya tidak ingat, tetapi tidak ada kenaikan yang signifikan karena kami juga tidak bodoh," tegasnya.
(source:vivanews)
0 Komentar — Skip to Comment
Posting Komentar — or Back to Content